Rabu, 23 Mei 2018

Alkulturasi Hindu-Buddha dan Islam

AKULTURASI BUDAYA LOKAL, HINDU-BUDHA DAN ISLAM

Secara definitif akulturasi budaya memiliki pengertian yaitu percampuran dua budaya atau lebih yang melahirkan kebudayaan baru sedangkan unsur-unsur aslinya masih nampak. Akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia memunculkan sesuatu yang unik dimana masyarakat Indonesia dalam menerima unsur-unsur budaya baru dari luar tidak langsung menerima mentah-mentah, namun dengan kecerdasan lokalnya (local genius) diselaraskan dengan unsur-unsur asli Nusantara. Hal ini disebabkan masyarakat di Nusantara telah memiliki perdaban yang tinggi sebelum unsur-unsur baru tersebut masuk. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal seperti Bangunan Masjid, Makam, Aksara dll.
 
1. Masjid
  • Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.
  • Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
2. Makam
Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.

3.  Aksara
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul. Selain itu untuk dalam bahasa Arab tidak ada bacaan "Ng, Ny, C, P" untuk menyikapi hal itu dengan kecerdasan lokal bangsa Indonesia membuat jalan keluar dengan mengimbuhkan titik tiga pada huruf-huruf seperti Ghain untuk Ng, Nun untuk Ny, Jim untuk C dan Fa untuk P.

4. Kalender
Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon. 

5. Seni
Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam.Pada masa Islam seni arca dan pematungan tidak berkembang, hal ini disebabkan kekhawatiran  akan adanya ritual pemujaan pada Arca atau Patung tersebut menyerupai berhala.oleh sebab itu seni arca tau pematungan dilihkan pada pembuatan kaligrafi dan stilir seperti Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sendang Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid. Wayang yang pada masa pra aksara digunakan untuk wahana memberikan nasehat dan pada masa Hindu-Budha digunakan sebagai sarana pengiring dalam sebuah ritual pemujaan terhadap Dewa-dewi pada masa Islam digunakan para Wali Songo untuk menyebarkan Agama Islam. Contohnya Sunan Kalijogo yang menggunakan Media wayang untuk memperkenalkan agama Islam ditengah-tenga masyarakat pesisir Jawa yang saat itu mayoritas Beragama Hindu-Budha.
 
 

Bentuk Nyata Akulturasi Islam, Hindu, dan Buddha

​1. Batik Lasem
Kontak budaya Tionghoa-Jawa meninggalkan hasil karya berupa batik pesisir utara yang terkenal dengan sebutan Batik Lasem. Perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya.
Tak heran motif batik Lasem mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Tionghoa yang bersanding dengan motif lokal. Mereka pun membuat kain batik panjang dan kain tokwi sebagai penutup meja altar persembahan. Batik Lasem masa itu diekspor secara besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka. Jelang 1970-an batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Fakta menarik bahwa industri batik pada tahun 1970an mencapai titik tertinggi hingga mencapai 144 perusahaan batik dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan batik tulis Lasem di seluruh Kabupaten Rembang.
Akulturasi budaya yang terdapat pada batik Lasem tersebut adalah bagaimana budaya Jawa dapat menyatu dengan budaya yang sangat kontras, yaitu kebudayaan Tionghoa. Banyaknya pedagang Tionghoa untuk melakukan interaksi jual-beli ternyata telah meninggalkan akilturasi yang bahkan sudah diakui dunia. Akulturasi tersebut tampak pada motif batik Lasem yang mencirikan kebudayaan Jawa, tetapi warna merah yang khas dengan Tiongkok juga sangat menjadi daya tarik terasendiri untuk batik ini. Warna merah pada batik Lasem tersebut dinamai dengan ‘getih pitik’. Motif pada batik Lasem biasanya berbentuk rangkaian bunga-bunga khas Tiongkok yang dibuat sedemikian rupa, sehingga cocok dengan kultur Jawa.
2. Masjid Kudus
Menara masjid Kudus merupakan perwujudan bangunan hasil akulturasi antara dua kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam. Budaya Hindu-Jawa sendiri tercermindari bangunan yang mirip candi. Sedangkan budaya Islam tercermin dari penggunaannya untuk adzan. Cerminan akulturasi dari masjid ini juga tercermin dari corak bagian gapura dan juga pada bagian dalam masjid yang memiliki sepasang gapura kuno yang disebut dengan “Lawang Kembar”. Akulturasi sendiri merupakan percampuran dua budaya atau lebih yang tidak menghapus budaya aslinya.
Pada saat Islam masuk ke Nusantara pada sektar abad ke-7, masyarakat Nusatara memang masih sangat terpengaruh dengan kebudayaan Hindu dan Buddha. Nah kemudian para penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo), termasuk Sunan Kudus sendiri dalam memperkenalkannya menggunakan strategi percampuran budaya Hindu dan Islam agar masyarakat bisa tertarik dan mudah menerima ajaran agama Islam yang baru saat itu.
Cerminan akulturasi pada Masjid Kudus terlihat sangat kental akan budaya Hindu dan Islam. Menara candi yang begitu khas, yang sekilas mirip bangunan candi, menjadi satu dari cerminan akulturasi yang dimiliki Masjid Kudus. Mungkin sekilas jika orang melihat masjid ini bukanlah seperti masjid, melainkan bagian dari tempat suci agama Hindu. Begitulah, memang sangat kental sekali kultur Hindu di masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang saat itu bertugas untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus membangun Masjid Kudus sedemikian rupa dengan maksud menarik minat masyarakat agar memeluk agama Islam, karena saat itu kultur Hindus masih lekat di masyarakat. 
Akulturasi lain yang tampak pada masjid tersebut adalah jumlah keran pada air wudhu-nya yang berjumlah delapan dengan arca di atasnya. Perlu diketahui, angka delapan sangat kental sekali dala ajaran Buddha, yaitu delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga. Selain itu, terdapat juga kompleks makam Sunan Kudus dan para pewarisnya di sana yang pasti desain makam tersebut terakulturasi dengan budaya Hindu-Buddha.
3. Tahlilan
Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin hingga dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum/almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya. 
Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian.
Terbukti bahwa tahlilan bukanlah murni ajaran Islam. Mengapa? Karena Nabi Muhammad SAW pun tak pernah menganjurkan tahlilan yang hanya ditemui di Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa peringatan terhadap orang yang meninggal bukan merupakan tradisi Islam, melainkan tradisi Hindu-Buddha yangs sekarang masih dilaksanakan. Dengan akulturasi budaya, Islam menghilangkan bagian-bagian yang kurang tepat menurut pandangan Islam itu sendiri, dan disebutlah tahlilan. Islam juga memperingati hari kematian seseorang seperti layaknya Hindu-Buddha, namun dikemas dan dibumbui dengan ajaran Islam seperti shalawatan seperti di atas.
4. Ziarah
Tradisi tahlilan dan nyekar atau nyadran oleh sebagain ulama dipandang bid’ah, artinya menyimpang dari syariat Islam sesunggunya. Adapula yang menilainya sebagai makruh, yaitu tak dilarang namun lebih baik jangan dilaksanakan. Namun, oleh kalangan Islam liberal yang memegang paham pluralisme, tradisi-tradisi tadi sah-sah saja selama tak menyekutukan Tuhan. Menurut mereka, tradisi tersebut merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan dihapus bahwa sejak dahulu dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat keanekaragaman (diversity), dan Islam bukanlah agama yang kaku dan tak fleksibel, melainkan sebaliknya: luwes dan rahmat bagi semesta alam.
Meskipun ziarah kadang ‘disalahgunakan’ oleh orang-orang dengan memuja arwah dengan maksud meminta kekuatan ghaib atau kebahagiaan dunia, namun kita bisa melihat bagaimana budaya Islam dan Hindu-Buddha bercampur di sana. Hindu-Buddha memiliki tradisi untuk memuja arwah nenek moyang salah satunya dengan mendatangi makam arwah tersebut dan merawatnya sebaik mungkin. Maka, Islam menghilangkan kata ‘memuja arwah’ tersebut dengan tradisi mendoakan arwah, dengan tujuan tidak lain adalah agar keluarga yang meninggal tenang di alam sana. Walau memang ziarah ini kadang dianggap bid’ah, karena Rasulullah SAW sendiri pun tak menganjurkannya, dalam konteks untuk meminta sesuatu dari makam tersebut. Namun, selagi hal tersebut dimaksudkan untuk mendoakan, itu tidak masalah.
5. Sekatenan
Siapa yang tidak mengenal acara Sekaten? Acara ini diciptakan oleh Sunan Bonang guna memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Alkukturasi Hindu-Buddha sangat kental dalam acara ini. Mengingat hal-hal seperti tumpeng dan pertunjukan gamelan serta wayang yang ditampilkan dalam Sekaten merupakan tradisi nenek moyang kita, sedangkan acara memperingati kelahiran Rasulullah SAW sendiri merupakan acara keagamaan Islam.
6. Kebatinan
Kebatinan merupakan bentuk kerohanian yang menggabungkan kepercayaan agama kuno orang Jawa dengan tradisi mistik Hindu, Buddha, dan sufi-Islam (dan juga Kristen). Para pengikut kebatinan tidak bisa dibilang pemeluk agama Islam, karena mereka tidak sembahyang lima waktu. Sebagai gantinya mereka memuji roh-roh nenek moyang seperti yang dilakukan agama Hindu-Buddha. Tujuan mereka mengikuti acara kebatinan ini adalah, contohnya agar terhindar dari marabahaya. Mereka sebenarnya tahu tentang tokoh-tokoh Islam, namun mereka dengan cara yang salah malah memuji tokok-tokoh tersebut. Seperti memuja tokoh Walisanga. Kepercayaan mereka juga masih sangat tradisional, mereka bahkan menanggap wayang semalaman guna mengusir hal-hal buruk dari mereka.
7. Tembang (Macapat dan Gending)
Selain Sunan Bonang, dakwah dengan menggunakan media seni dilakukan oleh Sunan Giri. Ia menciptakan lagu-lagu bernuansa Islam namun dengan langgam (nada-irama) Jawa. seperti “Ilir-ilir” dan “Jamuran”. Sunan Drajat pun menciptakan tembang berbahasa Jawa, yakni “Pangkur”. Tak ketinggalan, Sunan Muria ikut menciptakan tembang seperti “Sinom” dan “Kinanti”. Tembang “Sinom” umumnya menggambarkan suasana ramah tamah dan berisi nasehat, sedangkan “Kinanti” yang bernada gembira digunakan guna menyampaikan ajaran agama, nasihat, dan filsafat hidup. Sementara itu, Sunan Kalijaga berhasil menciptakan “Dandanggula”, tembang yang berisi rukun iman. Sehingga dengan demikian, pendekatan Islam terhadap masyarakat tradisional akan berlangsung dengan mudah melalui lagu.
8. Keraton (Suarakarta, Yogyakarta, Cirebon, dll)

Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk arsitektur pada keraton sebagai tempat raja. Keraton yang berada di Jawa dan Sumatera kebanyakan merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu dan Buddha. Keraton-keraton yang terdapat di Jawa, lazimnya dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan khas Islam yang dipadukan dengan ornamen Jawa yang Hindu-Buddha. Pada gerbang tempat masuk kerajaan dihiasi oleh gapura dan makara model Majapahit atau Singasari. Ruangan-ruangan di dalam keraton tersebut dihiasi ukiran-ukiran yang memadukan unsur Islam dengan Hindu-Buddha.
9. Makam (Contohnya Makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 1082 M)
Ukuran makam Fatimah Binti Maimun jauh lebih panjang dari makam umumnya. Hal ini karenakan didalam makam tersebut dikebumikan pula peninggalan yang bersangkutan berupa pusaka dan harta pemiliknya karena tidak ada ahli waris yg sah, dan dikhawatirkan akan dikuasai penguasa kerajaan yang masih memeluk agama Budha. Sedangkan saat itu Fatimah Binti Maimun sudah memeluk agama Islam. Maka, arsitektur makam tersevut menyerupai candi Hindu-Buddha.
10. Karya Sastra
Seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu-Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.
Akulturasi Hindu-Buddha dan Islam dalam karya sastra dapat terlihat dalam contoh-contoh berikut:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
11. Kalender Jawa
Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang saat itu menjabat, membuat sebuah terobosan di mana beliau membuat sistem penanggalan yang merupakan bagian dari kalender Saka (Hindu) dan kalender Hijriah dan diberi nama Kalender Jawa. Beliau mengubah nama bulan dari kata misalnya dari Muharam menjadi Syura, Ramadhan menjadi Pasa, dll. Sedangkan untuk nama hari tetap menggunakan nama Arab. Sampai sekarang, penanggalan tersebut masih digunakan dan mendarah daging di Jawa.
12. Seni Rupa dan Arsitektur
Selain desain arsitektur pada atam tumpang saka guru masjid, kita bisa menemui desain-desain akulturasi Hindu-Buddha dan Islam pada gapura-gapura di desa-desa. Atau kita bisa melihat ukiran-ukiran pada masjid yang kental dengan budaya Hindu-Buddha tetapi dengan objek tumbuhan atau ornamen sesuai dengan ajaran Islam.